Senin, 31 Agustus 2009

PENDIDIKAN SEBAGAI TRANSFORMASI SOSIAL

PENDIDIKAN SEBAGAI TRANSFORMASI SOSIAL

Oleh: Naif[1]

Pendahuluan

Potret dunia pendidikan semakin lama semakin menampakkan wajah buram bak akar pohon yang berkelindan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Beberapa usaha inovatif yang dilakukan dalam dunia pendidikan seakan bukan tawaran-tawaran solutif bagi problematika yang semakin kompleks. Output yang dihasilkan dunia pendidikan seringkali tidak mampu – untuk tidak dikatakan gagal – menerjemahkan teori-teori dan konsep-konsep ke dalam tataran praksis. Pengejewantahan teori-teori yang telah “ditelan” objek sekaligus subjek pendidikan ke dalam ranah praksis (seharusnya) bukan hal yang taken for granted. Dengan usaha inilah, pendidikan baru dikatakan memanusiakan kemanusiaan manusia. [2]

Sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan ruhnya. Demikian banyak wacana, kritik dan koreksi dari berbagai kalangan, namun belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan untuk memberdayakan pendidikan. Mungkin kalau ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pengembangan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan esensi dan substansi.[3] Kalau keadaannya seperti ini masihkah kita bisa berharap pendidikan sebagai sarana yang tepat untuk transformasi sosial?

Pendidikan sebagai transformasi sosial

Sudah tidak asing lagi bahwa pendidikan selain transfer of knowledge (transfer ilmu), juga berfungsi sebagai transfer of value (transfer nilai). Nilai di sini juga dimaksudkan pendidikan sebagai transfer untuk perubahan sosial. Lebih sempit pendidikan formal berfungsi sebagai proses pembaharuan sosial.[4]

Menurut Hilda Taba seperti dikutip Mahmud Arif, secara luas pendidikan adalah bagian dari “rekayasa sosial” yang secara sengaja dan sistematis berlangsung dalam sebuah kurun waktu tertentu sehingga ia tidak tidak hanya berarti interaksi tatap muka (face to face) antara guru dan murid dalam lingkungan kelas. Pendidikan merupakan inti dari proses “pembudayaan” yang berlangsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di mana terkandung di dalamnya proses pengembangan potensi, pewarisan budaya, dan perpaduan antar keduanya.[5]

Pendidikan untuk transformasi sosial merupakan mainstream aliran pendidikan berhaluan Freirean (Paulo Freire). Aliran pendidikan ini menggugat kemapanan pendidikan yang dianggap stagnan tanpa memberikan arti dan perubahan yang signifikan bagi realitas yang dihadapi manusia. Kita bisa menengok kembali ada masa tahun 70-an, dimana kampanye untuk meruntuhkan kemapanan sekolah digembor-gemborkan secara masif oleh Ivan Illich lewat buku fenomenal Deschooling Society (1971, dalam bahasa Indonesia buku ini diterjemahkan menjadi Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah). Masih dalam kritik yang senada, sahabat Illich, yaitu Everett Reimer, juga mempunyai buku yang menggugat hal yang sama. Buku yang berjudul School is Dead; Alternative in Education (1971) seakan melengkapi dan mengamini tesis-tesis bahwa sekolah telah mengalami kemandegan dalam mentransformasikan kehidupan sosial. Alih-alih transformasi sosial, untuk menerjemahkan teori ke dalam realitaspun agaknya sulit bagi sekolah untuk melakukannya.

Dalam dunia pendidikan, tokoh Paulo Freire sering menjadi sebuah wacana dialogis untuk menyelesaikan kebekuan dalam pendidikan. Bahkan ia dimonumenkan sebagai pahalawan pendidikan kritis (the hero of critical education). Salah satu teorinya dalam pendidikan yang paling masyhur adalah bahwa pendidikan untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Teori ini lebih condong ke arah filosofi eksistensialisme yang berusaha menggagas konsep manusia dan seluk beluk persoalan yang melingkupinya.[6]

Secara prinsip, pokok-pokok pikiran Freire tentang pendidikan pembebasan adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip cinta kasih sebagai basis dari dialog dan memang dialog itu sendiri. Kedua, kerendahan hati. Dalam suasana dialog, tidak ada tempat untuk arogansi, merasa berhak menggurui, merasa diri elite dan lebih dari komunitas yang ada, unggul dalam kebersamaan yang ada, terutama anak-anak yang saling mendidik. Ketiga, percaya kepada sesama manusia. Keempat, kepercayaan ini tidak naïf atau romantis, tetapi realisme yang sanggup melihat baik yang terang maupun yang gelap. Kelima, pentingnya untuk eksplorasi, penyidikan sendiri, sikap untuk selalu bertanya, munguji, kritis, merelatifkan pendapat yang berlaku umum tapi salah, serta membangkitkan kepribadian pribadi dalam kemapanan sosial. Keenam, metode Freire mengidentifikasi hakikat masalah.

Ira Shor, sejawat Freire, secara implisit sependapat dengan yang diungkap Freire, bahwa pendidikan yang membebaskan bukan hanya panduan atas teknik cerdas, melainkan suatu perspektif cerdas tentang sekolah, masyarakat, dan belajar untuk transformasi sosial.[7]

Sebenarnya Indonesia juga punya tokoh pendidikan yang konsepnya sama dengan Paulo Freire yaitu Ki Hadjar Dewantara. Beliau memperkenalkan kosep pendidikan yang memerdekakan. Kedua tokoh itu baik Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran yang sama pada substansi, yaitu pendidikan seharusnya membuat orang menjadi otonom, tidak tergantung pada orang lain. Orang lain hadir buka sebagai ordinat atau subordinat, atau sebagai kompetitor, tapi sebagai individu yang saling memerlukan satu dan lainnya, relasi yang mereka bangun adalah relasi antarpersonal.[8]

Kita semua memahami bahwa persoalan mendasar dunia pendidikan kita tidak hanya bermula dari sistem kekuasaan politik yang dikembangkan, tapi sudah terseret jauh melampaui masalah itu. Di sekolah-sekolah dasar sampai menengah dan umum, termasuk juga di perguruan tinggi, yang kerap terjadi sesungguhnya bukanlah pendidikan dalam arti sebenarnya, tapi sekedar pengajaran. Trasnformasi yang terjadi hanya sebatas ilmu dengan gaya bank. Sebuah transformasi yang hanya melibatkan peran keilmuan guru dan kebodohan murid. Asumsinya, murid menjadi pintar berkat pengajaran sang guru.

Pendidikan tidak dianggap begitu penting, mungkin saja karena hasilnya dianggap kurang konkret. Justru, pengajaranlah yang begitu ditekan habis-habisan. Pendidikan dan pengajaran yang menjadi jargon sistem pendidikan kita selama bertahun-tahun, dengan demikian menghasilkan format yang tidak seimbang. Dalam hal pengajaran guru akan bertindak sebagai orang yang paling pintar di kelas, dan siswa adalah objek yang dikenai blue print kemana guru berkehendak, sementara dalam pendidikan, yang lebih ditekankan adalah transformasi perilaku, transformasi etika, transformasi moralitas, bukan transformasi gaya berpikir. Tentu konsep pendidikan sesungguhnya mempunyai ruang lingkup yang lebih luas ketimbang sekadar pengajaran.

Pendidikan adalah manifestasi kehidupan. Proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. kehidupan akan berkembang dengan optimal mana kala ada “Pemerdekaan”. Pendidikan akan kehilangan ruhnya ketika tidak ada suasana yang memerdekakan. Semua manusia sepakat, hanya dengan pendidikan yang berkualitas bisa mengantarkan anak menjadi insan yang berkualitas. Ukuran berkualitas tentu saja bukan karena siswa mempunyai nilai sembilan atau sepuluh dalam ijazahnya karena nilai ijazah atau surat kelulusan sekolah yang sekarang ini terjadi hampir tidak mengukur kompetensi yang sebenarnya ketika menghadapi realitas sosial kehidupan. Indikasi manusia berkualitas adalah manakala seseorang sanggup memecahkan persoalan kehidupannya, kreatif, mandiri, beretika dan terus bersemangat mengembangkan mengembangkan pengetahuannya sehingga merasa hidup sejahtera dan berguna bagi orang lain.[9]

Khusus mengenai etika ini sangat perlu ditekankan dalam pendidikan kita sehingga pendidikan sebagai transformasi sosial dapat mencegah dan mengobati kerusuhan sosial maupun masalah sosial-sosial yang lain.[10]

Di sini, kiranya muncul suatu gagasan yang tak bisa ditunda-tunda lagi, yakni sebuah upaya untuk menyeimbangkan makna antara pendidikan dan pengajaran. Keduanya perlu mendapatkan perhatian serius. Memang, pendidikan sering dinisbatkan orang sebagai transformasi dalam arti yang sangat luas dan tak terjangkau, tidak hanya di sekolah-sekolah saja. Namun, yang demikian itu tentu bukan berarti dalam sekolah tak ada pendidikan. Justru di sekolah-sekolah itulah pendidikan mempunyai makna yang penting untuk pertama kali diaplikasikan. Dalam ruangan yang sempit itulah, konsep pendidikan yang sebenarnya bisa diajarkan oleh guru, yang mewakili realitas sosial kepada murid (untuk mengenal realitas sosial).[11] Lebih lanjut dalam suasana proses belajar mengajar guru dapat melakukan interaksi sosial dalam rangka pembentukan karakter (character building).[12]

Dalam melakukan pembongkaran pendidikan menuju transformasi sosial, di sini Ivan Illich menawarkan dua alternatif yang harus dihadapi dan dilakukan. Pertama, kita bisa bekerja untuk alat-alat pendidikan baru yang mengerikan dan perkasa, yang akan mengajarkan tentang sebuah dunia yang makin lama makin pekat serta merantai manusia. Kedua, kita dapat meletakkan landasan-landasan bagi era baru di mana teknologi akan dipakai untuk menjadikan masyarakat lebih sederhana dan lebih trasnparan, hingga semua manusia bisa mengetahui fakta-fakta serta menggunakan alat-alat untuk membentuk kehidupannya sendiri. Secara sederhana, alternatif-alternatif tersebut mengisyaratkan adanya pilihan antara menggulingkan sekolah atau membebaskan kebudayaan dari sekolah.

Ivan Illich berpendapat, untuk menjadikan pendidikan yang sebebas-bebasnya, sekolah harus memenuhi dua syarat. Pertama, sekolah harus dijalankan sedemikian rupa agar mencegah kembalinya kurikulum tersembunyi, yang isinya adalah kewajiban hadir menurut tingkat-tingkat atau kelas-kelas, dan kewajiban para murid berijazah untuk belajar di kaki para guru. Kedua, sekolah harus bisa membedakan antara kurikulum tersembunyi dengan dasar-dasar pengkultusan persekolahan. Kurikulum tersembunyi adalah ritual yang bisa dianggap sebagai inisiasi resmi anak sebelum masuk masyarakat modern, ditetapkan secara institusional dalam sekolah.

Ungkapan Ivan Illich di atas merupakan upaya perubahan yang bersifat struktural. Perubahan struktur di sini lebih lebih mengarah pada persoalan sistem pengajaran dan alat-alat yang ada dalam pendidikan. Dalam hal ini, bagaimana mengupayakan adanya kemandirian dari masing-masing sekolah dalam melakukan aktivitas belajar mengajar.[13]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan modern di saat ini tetapmencerminkan ketimpangan struktur masyarakat seperti yang terlihat semisal pada zaman kolonial di Indonesia. Lebih ironis lagi, pendidikan modern cenderung mempertahankan kelanggengan struktur masyarakat tersebut sekaligus memperkuatnya. Oleh karena itu wajar bila kemudian timbul kritik yang mempertanyakan sistem pendidikan modern itu. Ivan Illich dengan tajam membantai sistem sekolah saat ini yang menurutnya hanya mempertajam ketimpangan masyarakat. Lewat lisan “After Descholling What? Ia menuntut agar sistem kelembagaan sekolah yang cenderung mempertahankan status quo kalangan atas itu dihapus saja.[14]

Tidak jauh berbeda pendapat, Everett Reimer dalam “School is Dead”, ia menyatakan, bahwa sekolah bagi kebanyakan orang lain adalah institusi pendukung privilese, bahkan pada waktu yang sama merupakan instrument bersama bagi mobilitas vertikal masyarakat. Apa yang diimplikasi dari sistem kelembagaan seperti itu? Apakah betul-betul ada proses belajar, demokrasi dan kreativitas belajar yang sesungguhnya?

Ternyata jawab Reimer, sistem kelembagaan pendidikan membuat banyak anak di dunia tidak dapat menikmati pendidikan. Kalaupun mereka memperolehnya, maka dengan segera anak-anak itu akan drop out. Sebagian besar negara di dunia tidak mampu mengusahakan pendidikan pada standar minimal bagi mereka yang membutuhkannya.

Sedangkan dalam waktu yang sama biaya sekolah di mana-mana meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan pendapatan nasional. Untuk meratakan pendidikan, maka kelembagaan seperti sekolah, harus dilenyapkan karena ia telah mengalami kematian fungsi.[15]

Everett Reimer mengatakan ini dalam bahasa perampatan (generalisasi) ilmiah yang sangat dingin dengan dukungan data hasil penelitian yang absah menurut kaidah-kaidah ilmiah yang lazim dan diakui, antara lain, data dari lembaga dunia yang paling berwenang seperti Unesco. Dan, berdasarkan semua data itulah, Reimer tiba pada jawaban “Sekolah sudah mati”.[16]

Walaupun keluarga Deschooling mempunyai alur pemikiran yang logis, namun mereka sering mendapat kritik yang menyatakan bahwa mereka telah terjebak dalam pikiran yang logis tapi penuh kontradiksi, inkonsisten dan tidak realistis. Ivan dan Reimer memang mampu menelanjangi kebobrokan sistem pendidikan yang dilaksanakan sekolah, namun merekapun tidak mampu menawarkan solusi yang realistis atas hal itu. Gagasan learnig webs dalam Deschooling Society akhirnya harus menjadi kelembagaan formal juga apabila dipraktekkan dalam masyarakat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan tesis Illich kontraproduktif dengan hal-hal yang berhasil ia telanjangi habis-habisan.

Richardo Nassif, konsultan pendidikan Unesco, menyatakan bahwa teori descholing penuh paradoks dan utopia. Menurutnya Illich dan Reimer terjebak dalam pikiran yang kadang-kadang memang logis tetapi penuh kontradiksi, inkonsisten dan tidak realistis.

Pada satu pihak Illich dengan analisanya yang tajam, mampu menelanjangi kebobrokan dan kelemahan sistem pendidikan, tetapi pada pihak lain dia tidak mampu mencari alternatif yang tepat bagi pemecahannya. Alternatif yang ditawarkan Illich dengan mengadakan jaringan belajar (learning webs) penuh kelemahan. Sebab, kalaupun sistem itu telah meluas dalam masyarakat, ia akan terbentuk menjadi sebuah institusi pendidikan. Dengan demikian, ia tetap mengandung bahaya diskriminasi dan kelemahan, seperti sistem kelembagaan dewasa ini, yang dikecam Illich sendiri.[17]

Berbeda halnya dengan keluarga Deschooling, Paulo Freire menawarkan alternatif yang cukup realistis. Dengan memposisikan pendidikan sebagai media pembebasan, Freire menegaskan bahwa sudah selayaknya manusia mempunyai dinamika dalam dirinya, sehingga transformasi sosial akan menjadi tujuan baginya setelah menjalani proses yang bernama pendidikan. Untuk merealisasikan hal ini, maka manusia jangan hanya memiliki kesadaran magis, pun kesadaran naif. Kedua kesadaran tersebut hanya menjadikan manusia bersikap fatalistik. Sehingga manusia harus memiliki kesadaran kritis yang bisa membangkitkan semangatnya untuk merubah realitas yang ada.

Penutup dan Kesimpulan

Satu hal yang patut menjadi catatan adalah bahwa kecenderungan untuk berfikir pragmatis. Output pendidikan seringkali hanya memikirkan nasib sendiri untuk mencari pekerjaan untuk penghidupannya dan dengan serta merta melupakan nasib sesama. Walaupun hal ini juga bukan kesalahan individu an sich, namun ketika ditarik dalam skup yang lebih luas, maka kesalahan juga terletak pada kehidupan politik dan ekonomi yang sudah semakin tidak menentu. Sehingga, dengan kata lain, negara juga bertanggung jawab akan hal ini. Dengan memakai logika ini, sudah selayaknya negara mempunyai political will yang penuh demi transformasi sosial yang didambakan seluruh stake holder masyarakat. Dengan demikian pendidikan kita menghasilkan output yang tidak hanya memiliki kesalehan individu tetapi juga memiliki kesalehan sosial.[18]

Kalau kita berusaha jujur atas makna yang sesungguhnya dari adanya sekolah (pendidikan), sebenarnya pendidikan adalah media dalam melakukan proses belajar mengajar, yang pada intinya adalah sebuah transformasi nilai atas siswa ataupun masyarakat secara umum. Fungsi yang paling vital pendidikan adalah menggugah kesadaran kritis siswanya atau rakyat pada umumnya, sehingga memberikan kedewasaan berikir, logis, dan mampu memerdekakan dirinya dari belenggu dirinya sendiri atau istiadat maupun struktur negara. Pemaknaan yang seperti ini memberikan ruang eksistensi yang lebih substansif atas pendidikan. Itulah mengapa pendidikan berfungsi sebagai media yang efektif dalam mentransformasikan ide-ide terbentuknya kesadaran massif di kalangan rakyat dalam melakukan gerakan perubahan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008

Azizy, A. Qadri. Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, Jakarta: Aneka Ilmu, 2003

Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998

Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta: LKis, 2007

Gunawan, Ary H. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000

Patimasang, Roem. Sekolah itu Candu, Yogyakarta: InsistPress, 2007

Samba, Sujono. Lebih Baik Tidak Sekolah, Yogyakarta: LKiS, 2007

Sholeh, Munawar. Cita-cita Realita Pendidikan: Pemikiran dan Aksi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Institute for Public Education, 2006

Susetyo, Benny. Politik Pendidikan Penguasa, Yogyakarta: LKiS, 2005

http://fooadysmile.blogjurnalistikonlain.com/wordpress/?p=12



[1] Makalah ini dipresentasikan pada seminar kelas mata kuliah Sosiologi Pendidikan yang diampu oleh Dr. Zaimuddin, MA pada Program Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta Semester IV Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam.

[3] Baharuddin dalam Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 1

[4] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 25

[5] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 18. Mahmud Arif juga mengutip pendapat Munir al-Mursi Sarhan. Munir secara perspektif sosiologis, menjelaskan fungsi-fungsi pendidikan sebagai: (1) sarana preservasi sosial; (2) sarana kesinambungan dan pengembangan individu; (3) transmisi warisan budaya; (4) pembentukan kecenderungan-kecenderungan perilaku; (5) pengarahan dan dominasi sosial; (6) realisasi perkembangan yang menyeluruh; (7) pemerolehan pengalaman; (8) pemerolehan bahasa; dan (9) pemerolehan nilai-nilai moral etik dan estetik.

[6] Munawar Sholeh, Cita-cita Realita Pendidikan: Pemikiran dan Aksi Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Institute for Public Education, 2007), h. 3

[7] Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 146-147. Dalam dialog, akan bisa dilakukan transformasi berupa penanaman nilai kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kesetiakawanan, profesionalitas, keluhuran, kedisiplinan dan ketulusan. Dalam dialog, yang dipentingkan buka saja sekedar transfer ilmu, tetapi pembentukan karakter. Pembentukan karakter ini berkaitan dengan realitas kehidupan yang nyata, bukan kehidupan maya yang semu. Realitas hidup sehari-hari menjadi pijakan untuk direfleksikan dalam berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh di sekolah

[8] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, (Yogyakarta: LKis, 2007), h. 111

[9] Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah, h. 24

[10] A. Qodri Azizy, Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, (Jakarta: Aneka Ilmu, 2003), h. 87-89

[11] Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, h.152-153

[12] Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h. 31

[13] Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, h. 144-145

[14] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 160-161

[15] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 112

[16] Roem Patimasang, Sekolah itu Candu, (Yogyakarta: InsistPress, 2007), h.143

[17] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 112

[18] Hal ini selaras dengan UU Sidiknas No 23 Tahun 2003 dalam Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan Pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar