Rabu, 02 September 2009

MULTIKULTURAL, DESENTRALISASI DAN KETENAGAAN PENDIDIKAN

Isu-isu Kontemporer Mengenai Pengembangan Pendidikan Islam
(Desentralisasi,Multikultural dan Ketenagaan Pendidikan)
Oleh : Naif Adnan
Mahasiswa Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam

Abstrak
Dunia pendidikan Islam kita sedang bergerak menuju perubahan. Banyak hal-hal baru yang kini mulai dikembangkan dan digalakkan. Isu-isu kontemporer seperti desentralisasi, multikultural, tenaga pendidikan, seritifikasi, KBK, KTSP dan lain-lainnya mulai mengemuka beberapa tahun ini sebagai buah dari reformasi. Pendidikan Islam harus bisa merespon hal-hal baru itu. Karena kalau tidak, maka pendidikan Islam akan jalan di tempat dan tidak mustahil mundur ke belakang. Desentralisasi, Multikultural dan Ketenagaan Pendidikan adalah bentuk pengembangan dari sistem pendidikan kita yang dahulu sangat kaku dan terkesan dipaksakan. Dengan mengembangkan hal-hal baru tersebut ke dalam pendidikan Islam maka diharapkan pendidikan Islam bisa membawa pencerahan bagi peradaban dunia.

Kata-kata Kunci: Pengembangan, Pendidikan Islam, Desentralisasi, Multikultural, Ketenagaan Pendidikan

Pendahuluan
Sudah sepuluh tahun sejak tumbangnya rezim orde baru, maka aspek pendidikan pun mengalami reformasi. Kita ketahui pula sejak era reformasi banyak pembenahan dan perbaikan di bidang pendidikan kita. Dulu pendidikan juga digunakan oleh penguasa rezim saat itu untuk menguatkan pemerintahannya. Ada banyak aspek baru yang mewarnai pendidikan kita. Sebut saja desentralisasi, otonomi pendidikan, pendidikan multikultural, bahkan beberapa tahun ini pemerintah disibukkan dengan UAN Ujian Akhir Nasional) yang kemudian menjadi UN (Ujian Nasional). Selain itu juga dalam membenahi profesional tenaga pendidik, pemerintah mengadakan program sertifikasi guru. Dalam beberapa tahun saja kurikulum kita sudah ganti dua kali dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) ke KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran). Di bidang pendanaan dan pembiayaan pendidikan pemerintah meluncurkan program BOS. Selain itu juga pemerintah sudah mengeluarkan beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Guru dan Dosen

Dalam makalah ini akan dibahas beberapa beberapa isu-isu tersebut. Desentralisasi, muktikultural dan ketenagaan pendidikan merupakan isu-isu yang perlu direspon dengan baik. Kemudian mengapa penulis cuma membahas tiga isu tersebut. Menurut hemat penulis, tiga isu tersebut adalah tema yang menarik dan merupakan isu yang besar dalam pendidikan nasional secara umum dan pendidikan Islam secara khususnya.
A. Desentralisasi
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik.
Desentralisasi pendidikan biasanya didefenisikan dengan “the transfer of planning, decesion making, or administrative authority from central government to its field organization, local government, or non- government organization” (pelimpahan perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administrasi dari pemerintah pusat kepada kepada organisasi (atau lembaga yang menangani di) lapangan, pemerintah lokal atau organisasi non pemerintah. Salah satu bentuknya adalah terwujudnya manajemen berbasis sekolah (school based management) yang ditandai “dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional”.
Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pendidikan dan kebudayaan telah ditetapkan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota, di samping kewenangan lain seperti pekerjaan umum, kesehatan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Tujuan dilimpahkannya pelaksanaan pendidikan kepada pemerintah daerah (pemda), seperti yang tercantum dalam konsideran UU Nomor 22 Tahun 1999. adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah tanpa mengabaikan persiangan dunia global (global village).
Sebelum dikemukakan sekelumit tentang desentralisasi, ada perlunya kita bahas dulu apa bentuk dari sentralistik yang dahulu dijalankan oleh penguasa orde baru :
Pertama, sistem pendidikan yang kaku. Hal ini mencakup uniformitas dalam segala bidang, termasuk cara berpakaian (seragam sekolah), kurikulum, materi ujian, sistem evaluasi dan sebagainya. Pendek kata, sentralisasi telah dipraktekkan dalam segala bidang yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan nasional sedetail-detailnya.
Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Lebih parah lagi, masyarakat dianggap hanya sebagai obyek pendidikan yang diperlakukan sebagai orang-orang tidak mempunyai daya atau kemampuan untuk ikut menentukan jenis dan bentuk pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
Ketiga, sistem birokrasi kaku yang tidak jarang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa. Diantaranya terbelenggunya guru dan dijadikannya guru sebagai bagian dari alat kekuasaan dan birokrasi.
Menurut Malik Fajar salah satu bentuk penerapan desentralisasi pendidikan adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS merupakan alternatif baru yang ditandai dengan otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan pendidikan nasional. Sekolah diberikan kebebasan dan keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan sekolah dengan mengakomodasi seluruh kebutuhan masyarakat setempat. Dalam hal ini, masyarakat juga dituntut memahami pendidikan, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan ini dikenal dengan istilah Manajemen Berbasis Masyarakat (Community Based Management) atau Sekolah Berbasis Masyarakat (Community Based School).
Adapun tujuan desentralisasi pendidikan itu sendiri jika dikaitkan dengan pendidikan berbasis masyarakat adalah pertama, membantu pemerintah dalam mobilisasi SDM setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat setempat. Kedua, mendorong perubahan sikap dan persepsi masyarakat dan pemerintah setempat terhadap rasa pendidikan dan tanggung jawab kepemilikan lembaga-lembaga pendidikan di daerah. Ketiga, desentralisasi mendukung inisiatif masyarakat dan kebutuhannya melalui peranan-peranan kebijakan.
Pendidikan Islam dan Desentralisasi
Menurut Azyumardi Azra pendidikan berbasis masyarakat sebenarnya telah lama diselenggarakan kaum Muslimin Indonesia, bahkan bisa dikatakan setua sejarah perkembangan Islam di bumi Nusantara. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan, bahwa hampir secara keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak dari rangkang, dayah dan meunasah (Aceh), surau (Minangkabau), pesantren (Jawa), pondok, dan bustanul athfal, diniyah dan sekolah-sekolah Islam, didirikan dan dikembangkan masyarakat muslim sendiri. Kenyataan ini tidak mengherankan, karena pendirian lembaga-lembaga pendidikan itu berkaitan erat dengan motivasi keagamaan untuk menyediakan pendidikan Islam guna mendidik putra-putri kaum Muslimin.
Lebih lanjut Azra mengatakan bahwa perhatian pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam sangat kurang bahkan cenderung diskriminatif dibanding dengan lembaga-lembaga pendidikan umum. Oleh karena itu rencana pemerintah untuk membuat satu atap pendidikan di bawah Depdiknas menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut. Dan untuk itu ada beberapa altenatif yang telah dirumuskan oleh Forum Kajian Pendidikan Depag bagi pendidikan agama dan keagamaan.
Alternatif pertama; eksistensi suprastruktur Ditjen Binbaga, Depag, tetap dipertahankan, sedangkan penyelenggaraan pendidikan dilimpahkan kepada Pemda Tingkat II. Dasar pertimbangan alternatif pertama ini bahwa Depag tetap memegang kewenangan dalam mengelola pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sesuai dengan aspirasi masyarakat Muslimin. Selain itu, pembinaan pendidikan agama dan keagamaan secara operasional akan sama dengan pembinaan pendidikan di sekolah umum, yang akan ditangani Pemda sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999.
Alternatif kedua; institusi Ditjen Binbaga, Depag, diintegrasikan ke dalam Depdiknas; dan penyelengaraan pendidikan agama dan keagamaan diserahkan kepada Pemda sesuai UU No. 22 Tahun 1999. Dasar pertimbangan alternatif kedua ini adalah bahwa dengan satu atap di bawah Depdiknas, maka penyelenggaraan (termasuk pendanaan) dan kualitas pendidikan agama dan keagamaan akan sama dan sejajar dengan sekolah umum.
Wacana, rencana, dan rancangan program ke arah desentralisasi pendidikan nasional, harus diakui, belum melibatkan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sangat distingtif atau khas pesantren. Bagi pesantren-pesantren yang memiliki dan mengembangkan sistem pendidikan ke-Islaman sejak dari MI, MTs, dan MA dan/atau pendidikan umum SD, SMP dan SMU jelas harus mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut. Tetapi masalah yang akan mereka hadapi agaknya tak serumit masalah yang akan dihadapi pesantren Salafiyah yang bertahan dengan paradigma tradisinya atau pesantren modern seperti Pondok Modern Gontor yang sepanjang sejarahnya berusaha bertahan dengan karakternya sendiri.
B. Multikulturisme
Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, nilai, dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Bila bangsa ini ingin menjadi kuat dalam era demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari tiap orang yang beraneka ragam itu sehingga dapat saling membantu, bekerja sama membangun negara ini lebih baik. Memang kita sudah mempunyai dasar filosofis negara, Pancasila yang diimplementasikan dalam UUD 1945. Namun, dasar itu akan kuat bila sikap menghargai orang lain dikembangkan.
Ada dua model dalam sejarah manusia bagaimana menjadikan orang yang bermacam-macam tadi dapat bersatu membangun negara secara kuat. Pertama, dengan menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada baik dari segi budaya, agama, nilai, dan lain-lain. Mereka yang berbeda-beda itu dipaksa disatukan dengan aturan ketat dan penyeragaman. Tidak diterima adanya perbedaan. Itulah yang dilakukan Uni Soviet dan Yugoslavia zaman dulu. Hasilnya adalah bubar, karena perbedaan tidak dapat dihilangkan. Menghilangkan perbedaan yang memang sudah ada sejak lahir adalah suatu pemaksaan yang melawan Hak Asasi Manusia (HAM), maka tidak dapat bertahan lama.
Model kedua, justru menerima perbedaan, mengakuinya, dan menghargainya. Dengan saling menerima, orang yang berbeda itu bahkan dapat saling melengkapi, saling membantu lebih kaya. Dalam model kedua, HAM setiap orang diakui dan kekhasan tiap kelompok diakui, bahkan dikembangkan. Dalam model kedua diperlukan semangat multikultural.
Sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan dan dididikkan pada generasi muda dalam sistem pendidikan nasional. Dengan pendidikan, sikap penghargaan terhadap perbedaan yang direncana baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga sewaktu mereka dewasa sudah mempunya sikap itu. Di sini pemerintah dan tiap sekolah perlu memikirkan model dan bentuk yang sesuai.
Memang dalam UU Pendidikan Nasional, meski tidak eksplisit diungkap bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membantu anak didik agar menjadi manusia yang demokratis yang memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam tujuannya diungkapkan secara tersirat, anak didik diarahkan supaya nantinya dapat menjadi warganegara yang menghargai sesama warga, termasuk yang berbeda. Dalam bab tentang penyelenggaraan pendidikan ditekankan agar pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan pluralitas bangsa.
Corak pluralisme dan multikulturisme ini harus menjadi spritualitas kebijakan bagi kesejahteraan rakyat dalam memperkuat idealisme kehidupan sebangsa dan setanah air. Gerakan pluralisme dan multikulturalisme yang secara pakem telah built in dalam NKRI, menyarankan konstruksi kebijakan yang menjamin keterwakilan segenap komponen bangsa yang menebar di setiap detik dan suku bahkan agama secara proporsional dan kompetitif serta emansipatoris.
Pendidikan multikutural mengajui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people… Had to discard their own cultural, languages, religions and traditions, and adpt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national, including the educational and legal system.
Dari uraian itu jelas diungkap, anak didik diajak menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan yang lain. Dengan demikian model pendidikan kita harus lebih multikultural, yang membantu anak didik mengerti, menerima, dan menghargai budaya, nilai dan pribadi berbeda.
Pendidikan multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, dan nilai berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak melihat nilai budaya lain, sehingga mengerti secara dalam, dan akhirnya dapat menghargainya. Modelnya bukan dengan menyembunyikan budaya lain, atau menyeragamkan sebagai budaya nasional, sehingga budaya lokal hilang.
Dalam model pendidikan lama, sering karena ada ketakutan, anak didik tidak diberitahu tentang budaya lain. Akibatnya mereka tidak mengerti dan tidak dapat memahami mengapa temannya yang berasal dari suku dan ras lain bersikap seperti itu. Kadang ada ketakutan, bila nilai budaya lain diajarkan, nanti akan membuat siswa tidak menghargai budaya sendiri. Padahal, pengenalan budaya lain justru akan membantu kita mengerti budaya kita lebih jelas.
Dalam model pendidikan multikultural diakui, tiap budaya mempunyai nilai sendiri, sehingga tidak ada satu-satunya nilai paling benar. Di sini dibutuhkan keterbukaan hati dan pikiran, diperlukan pemahaman akan relativitas nilai budaya.

Strategi pengembangannya
Agar pendidikan lebih multikultural, maka kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan peran guru harus dibuat multikultural. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain.
Misalnya, dalam semua bidang pelajaran, dimasukkan nilai dan tokoh-tokoh dari budaya lain agar siswa mengerti bahwa dalam tiap budaya, ilmu itu dikembangkan. Contoh-contoh ilmuwan dan hasil teknologi, perlu diambil dari berbagai budaya dan latar belakang termasuk jender. Kesamaan dan perbedaan antarbudaya perlu dijelaskan dan dimengerti. Siswa dibantu untuk kian mengerti nilai budaya lain, menerima dan menghargainya. Misalnya, dalam mengajarkan makanan, pakaian, cara hidup, bukan hanya dijelaskan dari budayanya sendiri, tetapi juga yang lain.
Model pembelajaran dalam klas pun perlu diwarnai multikultural, yaitu dengan menggunakan berbagai pendekatan berbeda-beda. Penyajian bahan, termasuk matematika, dalam memberi contoh, guru perlu memilih yang beraneka nilai. Buku-buku yang ditulis dalam pelajaran pun perlu disusun untuk menghargai budaya lain dan penghargaan jender.
Dulu banyak buku memuat contoh stereotip budaya tertentu, maka kini harus lebih menyeluruh, termasuk agar tidak bias jender. Dalam Orde Baru, sering karena ditakutkan SARA, banyak buku pelajaran tidak berani memuat simbol atau gambar yang berasal dari agama lain. Alasannya agar tidak ada ketegangan. Menurut saya, di zaman demokrasi ini, dan untuk membantu siswa mengenal dan menghargai, kita tidak perlu takut mencantumkan contoh dari keyakinan dan agama lain. Dengan ditutupi, anak tidak mengerti yang lain, sehingga akan lebih sulit menghargai perbedaan itu.
Suasana sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
Bahkan yang tidak kalah penting, terlebih di tingkat SD-SMU, dekorasi sekolah perlu diatur dengan nuansa multikultur. Meski sekolah itu di Pulau Jawa, hiasan dan dekorasi ruang dibuat beraneka ragam budaya suku-suku yang ada di Indonesia, misalnya, sehingga siswa mengerti nilai lain.
Multinilai
Kegiatan ekstrakurikuler hendaknya juga multinilai. Sikap menghargai orang yang berbeda dari budaya lain akan lebih berkembang bila siswa mempraktikkan dan mengalami sendiri. Maka, model live-in, tinggal di tengah orang yang berbudaya lain, amat dapat membantu siswa menghargai "budaya lain". Misalnya siswa dari Bali ikut live-in satu minggu di tengah orang Sunda. Bila mereka mengalami bahwa di situ diterima dengan baik, mereka akan dibantu lebih penghargai budaya Sunda.
Proyek dan kepanitiaan di sekolah baik juga diatur dengan lebih variasi dan beragam. Setiap panitia terdiri dari aneka macam siswa dari berbagai suku, ras, agama, budaya, dan jender. Ini akan lebih menumbuhkan semangat kesatuan dalam perbedaan yang ada.
Diskusi dan debat tentang persoalan konflik di masyarakat yang diakibatkan perbedaan budaya dapat membantu siswa kian mengerti makna perbedaan. Maka, penting siswa tidak diasingkan dari persoalan masyarakat. Mereka diajak kritis mengamati apa yang terjadi di masyarakat terlebih dalam kaitan penghargaan terhadap nilai orang lain. Siswa diberi kesempatan mendalami persoalan masyarakat multibudaya. Aneka gagasan coba diterima dan dibuka, sehingga anak sadar akan keanekaan itu.
Belajar bahasa suku lain, amat berguna. Indonesia terdiri dari banyak pulau dan suku dengan bahasa yang berbeda. Negara kita mempunyai satu bahasa nasional, Indonesia. Dan, ini baik untuk alat komunikasi antarwarga Indonesia. Namun, yang kiranya tidak boleh ditinggalkan adalah bahwa kita akan lebih dibantu menghargai orang dan budaya lain, bila kita dapat mengerti bahasa mereka.
Lewat bahasanya, terutama dapat menggunakannya, orang akan mudah mengerti makna terdalam budaya orang lain. Maka, semakin mengenal bahasa suku lain, akan semakin mendorong kita untuk mengerti mereka lebih dalam dan menerima serta menghargai. Kiranya usaha menghargai budaya lain dapat juga secara edukatif menekankan pentingnya belajar bahasa suku-suku lain. Bila dorongan ini sejak awal ditekankan pada siswa, maka akan membantu mereka lebih mengerti orang dari suku lain.
Peran guru
Peran guru dalam pendidikan multikultur juga amat penting. Guru harus mengatur dan mengorganisir isi, proses, situasi, dan kegiatan sekolah secara multikultur, di mana tiap siswa dari berbagai suku, jender, ras, berkesempatan untuk mengembangkan dirinya dan saling menghargai perbedaan itu.
Guru perlu menekankan diversity dalam pembelajaran, antara lain dengan 1) mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa; dan 2) mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Dalam pengelompokan siswa di kelas mapun dalam kegiatan di luar kelas guru diharapkan memang melakukan keanekaan itu.
Multikulturalisme dan Pendidikan Islam
Salah satu lembaga yang dapat dijadikan sebagai model penerapan pendidikan mutikulturalisme adalah pesantren. Karena mengingat pertama, dunia pesantren telah berkenalan dengan keragaman pendapat sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab kuning. Kedua, pesantren melalui kiyainya sebagai agen pengantara budaya masyarakat setempat (agent of cultur broker). Ketiga, pesantren berada dalam masyarakat budaya Indonesia yang beragam.
Usaha untuk mengembangkan sikap penghargaan ini masih panjang, terlebih karena kadang ada kecurigaan terhadap budaya lain. Semoga kita makin mengusahakannya, meski banyak tantangan. Semoga bangsa ini kian kuat bekerja sama, bukan saling menghancurkan.
Sebagai kesimpulan pendidikan multikultural menghendaki empat hal. Pertama, pendidikan multikultural memandang bahwa manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan. Kedua, pendidikan multikultural tidak mentolerir adanya ketimpangan kurikulum. Pendidikan multikultural mengakui dan menghargai adanya perbedaan filosofi keilmuan. Ketiga, pendidikan multikultural berupaya menjadi jembatan emas bagi keterpisahan lembaga pendidikan dari kemanusiaan masyarakatnya. Keempat, pendidikan multikultural menghendaki biaya pendidikan menjadi sangat ringan dan dapat digapai oleh seluruh lapisan masyarakat.

C. Ketenagaan Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah pada era reformasi ini sangat serius menangani bidang pendidikan, karena dengan menerapkan sistem pendidikan yang baik serta ditunjang pula oleh guru yang bermutu dan profesional diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dilandasi oleh semangat keberagamaan
Penyelenggaraan pendidikan pada hakekatnya memiliki tujuan utama untuk menghasilkan dan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Di samping itu pula menghasilkan lulusan dan anak didik yang bisa mengikuti perkembangan zaman. Untuk dapat melakukan hal itu, sekolah-sekolah tidak akan bisa menghindari diri dari berbagai tantangan masa depan yang sulit sekali untuk diramalkan, serta selalu mengalami perubahan. Oleh karena itu, dunia pendidikan di Indonesia juga akan menghadapi ketidakpastian akibat dari adanya perubahan-perubahan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, lembaga-lembaga pendidikan Islam ikut merasakan dampaknya. Perubahan-perubahan yang terjadi yang mempunyai dampak negatif di masa depan tidak akan memiliki pola yang jelas.
Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu lembaga pendidikan Islam sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Guru merupakan faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di lembaga pendidikan Islam, karena guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar.

Defenisi
Menurut UU Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dgn kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Adapun menurut E. Mulyasa dalam manajemen tenaga kependidikan (guru dan personil) mencakup (1) perencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai, (3) pembinaan dan pengembangan pegawai,(4) promosi dan mutasi, (5) pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai.
Sebelum kita masuk dalam bagian-bagian manajemen tenaga pendidikan ada baiknya kita ketahui dulu tentang tugas, hak dan kewajiban, serta syarat pendidik dan tenaga pendidik.

Tugas Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pendidik
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Sedangkan menurut Ag, Soejono merinci tugas pendidik (termasuk guru) sebagai berikut:
1. Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket dan sebagainya.
2. Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
3. Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
4. Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.
5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan bertugas melakukan adminstrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.

Hak dan Kewajiban Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh :
a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual
e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban :
a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningktkan mutu pendidikan; dan
c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Syarat Pendidik/Guru
Menurut Ahmad Tafsir mengutip pendapat Soejono menyatakan, bahwa syarat guru adalah sebagai berikut:
1. Tentang umur, harus sudah dewasa.
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang, jadi menyangkut nasib seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung jawab. Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa; anak-anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Di negara kita, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau dia sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Bagi pendidik asli, yaitu orang tua anak, tidak dibatasi umur minimal; bila mereka telah mempunyai anak, maka mereka boleh mendidik anaknya. Dilihat dari segi ini, sebaiknya umur kawin ialah 21 bagi laki-laki dan minimal 18 bagi perempuan.
2. Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani.
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksana pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila berbahaya juga bila ia mendidik. Orang idiot tidak mungkin mendidik karena ia tdak akan mampu bertanggung jawab.
3. Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli.
Ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru. Orang tua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya itu diharapkan ia akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah. Sering kali terjadi kelainan pada anak didik disebabkan oleh kesalahan pendidikan di dalam rumah tangga.
4. Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar. Bagaimana guru akan memberikan contoh-contoh kebaikan bila ia sendiri tidak baik perangainya? Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam mendidik selain mengajar, dedikasi tinggi diperlukan juga dalam meningkatkan mutu mengajar.
Penutup
Dari beberapa isu-isu kontemporer yang dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, desentralisasi bertujuan membantu pemerintah dalam mobilisasi SDM setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat setempat, mendorong perubahan sikap dan persepsi masyarakat dan pemerintah setempat terhadap rasa pendidikan dan tanggung jawab kepemilikan lembaga-lembaga pendidikan di daerah dan desentralisasi mendukung inisiatif masyarakat dan kebutuhannya melalui peranan-peranan kebijakan. Wacana, rencana, dan rancangan program ke arah desentralisasi pendidikan nasional, harus diakui, belum melibatkan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sangat distingtif atau khas pesantren.
Kedua, Salah satu lembaga yang dapat dijadikan sebagai model penerapan pendidikan mutikulturalisme adalah pesantren. Karena mengingat pertama, dunia pesantren telah berkenalan dengan keragaman pendapat sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab kuning. Kedua, pesantren melalui kiyainya sebagai agen pengantara budaya masyarakat setempat (agent of cultur broker). Ketiga, pesantren berada dalam masyarakat budaya Indonesia yang beragam.
Ketiga, Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu lembaga pendidikan Islam sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Guru merupakan faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di lembaga pendidikan Islam, karena guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar















DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

Azizy, A. Qodri. Pendidikan untuk Pembangunan Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat. Jakarta: Aneka Ilmu, 2003.
Chan, Sam. M dan Tuti T. Sam, Analisis SWOT; Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007.
Dawam, Ainurrofiq. Pendidikan Multikultural, Jogjakarta: Penerbit Inspeal, 2006.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan. Jakarta: 2006
Fadjar, A. Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya cet ke 11 2007

Sahrodi, Jamali. Pesantren dan Pendidikan Mutikultural, Al-Tarbiyah Jurnal Pendidikan Vol XX No 1 Juni 2007.
Soejono, Ag. Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum Bandung: CV Ilmu, 1982

Stavenhagen, Radolfo. Education for A Multikultural World. In Jasque Delors (et.all), Learning: the treasure within. Paris: Unesco, 1996.
Suparno, Paul. Pendidikan Multikultural, Kompas 7 Januari 2003.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, cet 4. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004

Selasa, 01 September 2009

TUJUAN DAN RUANG LINGKUP SUPERVISI PENDIDIKAN

Tujuan, Kegiatan dan Sasaran Supervisi Pendidikan
Oleh: Naif dan Mupijah


Pendahuluan
Tugas pokok pengawasan adalah bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran pendidik. Pengawasan ini dilakukan agar setiap pendidik mampu menjaga ritme proses pembelajaran di kelas sehingga kinerja yang ditampilkan pendidik sesuai dengan tuntutan pembelajaran dan kurikulum yang telah ditetapkan. Melalui berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para pengawas, akan dilihat bagaimana implikasinya terhadap kinerja guru yang pada akhirnya nanti akan mempengaruhi mutu pendidikan.
Sebagai tenaga pendidikan, kedudukan pengawas sangat jelas dan tegas di lembaga pendidikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan pada Bab I Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah: “anggota masyarakat yang mengabadikan dirinya secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan”. Bab II pasal 3 butir 1 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah: “terdiri atas tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar dan penguji”.
Pengawas (supervisor) adalah salah satu tenaga kependidikan, yang bertugas memberikan pengawasan agar tenaga kependidikan (guru, kepala sekolah, personal lainnya) dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Pengawas berdasarkan keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118/1996 adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggungjawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah.
Jika ditelaah berdasarkan peraturan pemerintah dan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tersebut, dapat dikatakan bahwa kedudukan pengawas sangat straregis dan akan mempengaruhi mutu pendidikan secara keseluruhan. Pengawas bersifat fungsional dan bertanggung jawab terjadinya proses pembelajaran, pendidikan dan bimbingan di lingkungan persekolahan pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Fungsinya yang cukup strategis itu akan dapat meningkatkan proses pembelajaran dan bimbingan yang dilakukan oleh guru, sehingga proses pendidikan akan berlangsung sevara efektif, terutama di lingkungan pendidikan sekolah.
Pada UU Sisdiknas 2003 mengenai pengawasan mempunyai bab khusus yaitu Bab XIX Pasal 66. Adapun pada bab itu isinya:
1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masin-masing.
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
3. Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sayangnya sampai saat ini belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang baru untuk mengatur pengawasan (supervisi) dalam pendidikan sesuai amanat UU Sisdiknas 2003 kecuali Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.

Tujuan Supervisi Pendidikan
Pengawas atau supervisor merupakan dua istilah yang dapat dipertukarkan antara satu sama lain jika membicarakan kepengawasan dalam pendidikan. Dalam konteks pendidikan di Indonesia digunakan istilah pengawas, hanya saja dalam konteks keilmuan dan literatur memakai istilah supervisor atau supervisi.


Menurut Piet A. Sahertian dan Frans Mataheru tujuan dari supervisi pendidikan adalah mengembangkan situasi belajar dan mengajar yang lebih baik. Usaha kea rah perbaikan belajar dan mengajar ditujukan kepada pencapaian tujuan akhir dari pendidikan yaitu pembentukan pribadi anak secara maksimal
Lebih lanjut dijelaskan secara rinci tujuan konkrit dari supervisi pendidikan sebagai berikut:
a. Membantu guru melihat dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan.
b. Membantu guru dalam membimbing pengalaman belajar murid-murid.
c. Membantu guru dalam menggunakan sumber-sumber pengalaman belajar.
d. Membantu guru dalam menggunakan metode-metode dan alat-alat pelajaran modern
e. Membantu guru dalam memenuhi kebutuhan belajar murid-murid.
f. Membantu guru dalam hal menilai kemajuan murid-murid dan hasil pekerjaan guru itu sendiri.
g. Membantu guru dalam membina reaksi mental atau moral kerja guru dalam rangka pertumbuhan pribadi dan jabatan mereka.
h. Membantu guru baru di sekolah sehingga mereka merasa gembira dengan tugas yang diperolehnya.
i. Membantu guru agar lebih mudah mengadakan penyesuaian terhadap masyarakat dan cara-cara menggunakan sumber-sumber masyarakat dan seterusnya.
j. Membantu guru agar waktu dan tenaga tercuarhkan sepenuhnya dalam pembinaan sekolahnya.
Sedangkan menurut Burton sebagaiman dikutp oleh Ngalim Purwanto tujuan supervisi adalah perbaikan dan pengembangan proses belajar mengajar secara total; ini berarti bahwa tujuan supervisi tidak hanya untuk memperbaiki mutu mengajar guru, tetapi juga membina pertumbuhan profesi guru dalam arti luas termasuk di dalamnya pengadaan fasilitas yang menunjang kelancaran proses belajar mengajar, peningkatan mutu pengetahuan dan keterampilan guru-guru, pemberian bimbingan dan pembinaan dalam hal implementasi kurikulum, pemilihan dan penggunaan metode mengajar, alat-alat pelajaran, prosedur dan teknik evaluasi pengajaran, dan sebagainya.
Sedangkan Sergiovanni (1987) menegaskan lebih lengkap lagi tujuan supervisi pengajaran, menurutnya terdapat tiga tujuan supervise pengajaran, yaitu:
a. Pengawasan Berkualitas
Dalam supervisi pengajaran supervisor bisa memonitor kegiatan proses belajar mengajar di kelas. Kegiatan memonitor ini bisa dilakukan melalui kunjungan supervisor ke kelas-kelas di saat guru sedang mengajar, percakapan pribadi dengan guru, teman sejawatnya, maupun dengan sebagian murid-muridnya.
b. Pengembangan Profesional
Dalam supervisi pengajaran, supervisi bisa membantu guru mengembangkan kemampuannya dalam memahami pengajaran, kehidupan kelas, mengembangkan keterampilan mengajarnya dan menggunakan kemampuannya melalui teknik-teknik tertentu. Teknik-teknik tersebut bukan saja bersifat individual, melainkan bersifat kelompok.
c. Peningkatan Motivasi Guru
Dalam supervisi pengajaran, supervisor bisa mendorong guru menerapkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas mengajarnya, mendorong guru mengembangkan kemampuan sendiri, serta mendorong guru agar ia memiliki perhatian yang sungguh-sungguh (commitment) terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Pendek kata, melalui supervisi pengajaran, supervisor bisa menumbuhkan motivasi kerja guru.
Supervisi pengajaran yang baik adalah supervisi pengajaran yang mampu merefleksi multi tujuan yang tersebut di atas. Tidak ada keberhasilan bagi supervisi jika hanya memperhatikan salah satu tujuan tertentu dengan mengenyampingkan tujuan lainnya. Hanya dengan merefleksi ketiga tujuan inilah supervisi pengajaran akan mampu mengubah perilaku mengajar guru. Pada gilirannya nanti akan merubah perilaku guru kea rah yang lebih berkualitas dan akan menimbulkan perilaku belajar murid yang lebih baik.
Kegiatan dan Sasaran Supervisi
Supervisi dalam pendidikan mengandung pengertian yang luas. Kegiatan supervisi mencakup penentuan kondisi-kondisi atau syarat-syarat personel maupun material yang diperlukan untuk terciptanya situasi belajar mengajar yang efektif, dan usaha memenuhi syarat-syarat itu.
Kegiatan atau usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan supervisi dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru dan pegawai sekolah lainnya dalam menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya.
b. Berusaha mengadakan dan melengkapi alat-alat perlengkapan termasuk macam-macam media instruksional yang diperlukan bagi kelancaran jalannya proses belajar mengajar yang baik.
c. Bersama guru-guru, berusaha mengembangkan, mencari dan menggunakan metode-metode baru dalam proses belajar mengajar yang lebih baik.
d. Membina kerja sama yang baik dan harmonis antara guru, murid dan pegawai sekolah lainnya.
e. Berusaha mempertinggi mutu dan pengetahuan guru-guru dan pegawai sekolah, antara lain dengan mengadakan workshop, seminar, insertvice training, atau upgrading.
Supervisi ditujukan kepada usaha memperbaiki situasi belajar mengajar. Yang dimaksudkan dengan situasi belajar mengajar ialah situasi dimana terjadi proses interaksi antara guru dan murid dalam usaha mencapai tujuan belajar yang telah ditentukan. Jadi supervisi ialah usaha peningkatan proses kegiatan belajar mengajar itu. Sasaran supervisi pendidikan pada hakikatnya menyentuh pertumbuhan jabatan guru (professional growth).



Gugatan terhadap pengawasan
Pascareformasi, keberadaan insitusi pengawas masih dipertahankan, dan masih menjalankan peran maupun fingsi-fungsi yang sama dengan masa Orde Baru dulu. Jadi sebetulnya Departemen Pendidikan Nasional ambivalen. Di satu sisi, mereka bicara mengenai kebijakan pendidikan amat reformis, demokratis, dan memberikan otonomi kepada guru, tapi di sisi lain, tetap melakukan kontrol yang ketat terhadap guru melalui para pengawas, yang ternyata belum mengalami reformasi paradigma maupun metodologi pengawasan. Akhirnya, yang terjadi pada tingkat wacana, praksis pendidikan itu sangat demokratis, otonom, dan reformis, tapi pada tingkat praktiknya masih tetap seperti masa Orde Baru.
Namun demikian harus disadari bahwa persoalan supervisi bukanlah persoalan dunia pendidikan semata. Menurut Siahaan (1999:18) perlu disadari bahwa supervisi di lembaga pendidikan atau di sekolah tidak semuanya dapat berjalan dengan baik, karena persoalan supervisi menyangkut dengan kebijakan politik negara. Sistem penyelenggaraan negara selalu melakukan intervensi kepada kebijakan sekolah, dan tidaklah jarang kebijakan sekolah harus dengan kebijakan politik penguasa. Situasi ini mengakibatkan munculnya penerapan supervisi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip supervisi itu sendiri.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengawasan (supervisi) menjadi bagian dalam meningkatkan mutu, mutu pengawas akan mempengaruhi mutu guru, mutu guru akan mempengaruhi mutu proses pembelajaran, proses pembelajaran yang bermutu akan menghasilkan peserta didik yang bermutu pula, dan apabila pada akhirnya jika semua itu bersinergi akan menghasilkan pendidikan yang bermutu pula tentunya.
2. Adapun tujuan dari supervisi pendidikan adalah menciptakan pengawasan berkualitas, pengembangan professional dan peningkatan motivasi guru.
3. Yang dibutuhkan oleh guru sekarang bukanlah seorang pengawas yang tugasnya mengontrol kerja mereka, tapi seorang tutor dan pembimbing yang mampu membuat guru melaksanakan kerja secara lebih professional. Bila guru memiliki banyak kelemahan dalam menjalankan profesinya, maka solusinya bukan dimarahi atau dikenakan sanksi, melainkan diberi bimbingan dan pengayaan metode sehingga mereka menjadi guru yang yang professional dan memiliki komtmen pada perbaikan pendidikan nasional. Memmpertahankan fungsi pengawas seperti saat ini sama halnya membonsai praksis pendidikan dalam konservatisme dan otoritarianisme.




















DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta: LKis, 2007
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Jakarta: 2006
Mardhiah, Esensi Kepengawasan dalam Pendidikan. Jurnal Ulul Albab STAIN Palopo
Volume 10 Nomor 2 Juni 2008
Purwanto, Ngalim Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008
Sahertian, Piet A dan Frans Mataheru, Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1981
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007